selamat datang di blognya aad jadul... dan terima kasih atas kunjungannya

Monday, January 11, 2010

Avatar: Sebuah Ensiklopedia Manusia dan Alam


Sejak lama, banyak kalangan, khususnya para ahli psikoanalisis, mendebatkan apakah identitas itu bersifat tunggal atau jamak? Menurut pakar sosiologi di Massachusetts Institute of Technology, Sherry Turkle dalam bukunya Life on the Screen, kehadiran era virtual dalam budaya komputer dan internet makin menguatkan bahwa sejatinya identitas tidak bersifat tunggal, namun kompleks. Tampaknya hal inilah yang ingin diketengahkan dalam film Avatar yang dalam pekan-pekan pertama telah meraup keuntungan di atas 77 juta dolar. Dalam film ini kita disuguhi tontonan yang menampilkan mudahnya seseorang bertukar identitas dari satu jasad ke jasad yang lain; semudah kita menukar avatar dalam sebuah konsol game. 

Film Avatar berlatar tahun 2154 ketika perusahaan RDA melakukan eksplorasi mineral di Pandora, salah satu bulan dari planet Polyphemus di gugus bintang Alpha Century. Pandora dihuni oleh makhluk hidup seperti manusia yang disebut Na’vi. Mereka hidup berdamai dengan alam dan memiliki dewi pelindung yang bernama Eywa. Meskipun memiliki sumber daya alam yang kaya dan asri, manusia tidak bisa menghirup atmosfer di Pandora. Untuk itu, para ilmuwan di RDA dipimpin oleh Dr. Grace Augustine (Sigourney Weaver) merekayasa jasad hibrid yang dapat dikendalikan secara genetik oleh operator manusia. 

Kisah berawal dengan kedatangan Jake Sully (Sam Worthington), mantan marinir penyandang cacat, ke Pandora untuk menggantikan saudara kembarnya yang tewas terbunuh. Ketika bertugas mengawal ekspedisi ilmiah yang dilakukan Grace dan Norm Spellman (Joel David Moore) ke dalam jantung rimba Pandora, Jake yang telah berganti identitas menjadi avatar diserang oleh binatang buas dan akhirnya tersesat. Dia diselamatkan oleh Neytiri (Zoe Zaldana), perempuan Na’vi, putri dari pemimpin klan Omaticaya. Meskipun awalnya disambut dengan penuh curiga, Jake akhirnya diterima bukan hanya oleh Neytiri, melainkan juga oleh masyarakat klannya. Hubungan antara Neytiri dan Jake, juga antara Jake, perusahaan, dan rekan kerjanya, menjadi tulang punggung cerita dalam film karya Cameron ini. 

Di Indonesia, James Cameron dikenal dengan film-filmnya yang futuristik seperti The Terminator (1984), Aliens (1986), dan The Abyss (1989), serta sebuah film melodrama kolosal Titanic (1997). Semula proyek film Avatar dinamai Project 880. Jika melihat kisah yang melatarinya, barangkali agak sulit mencari tandingan bagi film yang seambisius Avatar. Mulai disusun naskahnya pada tahun 1994, avatar sempat terbengkalai selepas Cameron menuntaskan film Titanic. Dalam wawancaranya dengan Rebecca Keegan, penulis buku The Futurists: Life and Films of James Cameron (2009), Cameron mengatakan bahwa pembuatan film avatar terpaksa ditunda karena menunggu sampai akhirnya perkembangan teknologi mampu mewujudkan ambisi visualisasi film tersebut. 

Setelah menunggu lebih dari satu dasawarsa, akhirnya James Cameron mulai menjalankan proyek film ambisiusnya ini. Konon, lebih dari 300 juta dolar habis untuk mendanai Avatar. Keseriusan tidak hanya tampak pada jumlah biaya produksinya, namun juga pada proses pembuatannya sejak dari awal. Cameron betul-betul memperhatikan hampir tiap aspek dalam filmnya secara detail. Untuk menciptakan budaya dan bahasa yang digunakan oleh Na’vi, Cameron menggandeng Dr. Paul Frommer, seorang linguis dari University of South Carolina. Sadar akan pentingnya musik latar film, Cameron merangkul komposer James Horner yang juga menangani musik latar pada film Cameron sebelumnya, Aliens dan Titanic. Untuk meningkatkan kualitas pengambilan gambar, Cameron menggunakan teknik spektoskopis 3D dan kamera yang khusus diciptakan untuk pembuatan film ini. Dari segi teknologi efek visual, film Avatar memang dianggap banyak pengamat telah menciptakan revolusi dan menempatkan teknik efek visual dalam pembuatan film ke tataran baru. Hasil dari terobosan teknologi efek visual itu pun memungkinkan penggambaran alam Pandora yang betul-betul membuat kita berdecak kagum; apalagi jika kita menyaksikannya dalam format 3D. Ya, film ini memang dipasarkan dalam tiga format, yakni 2D, 3D dan IMAX 3D. 

Lepas dari kecanggihan efek visual yang disajikan, film Avatar mengandungi beberapa pesan yang patut dicermati. Paling tidak, ada dua pesan yang cukup kentara dari film ini, yakni pesan antiperang dan pelestarian lingkungan. Sikap antiperang ini dapat dilihat dari tanggapan dan tentangan para ilmuwan yang dimotori oleh Grace terhadap rencana untuk meratakan pohon kehidupan tempat tinggal klan Omaticaya. Pesan ini juga terlihat ketika Cameron menampilkan kekejaman para petugas keamanan perusahaan RDA yang kemudian memerangi bangsa Na’vi. Dalam film ini, para tentara digambarkan bengis dan tidak tergetar sedikit pun oleh nilai-nilai kemanusiaan universal. Boleh dikatakan bahwa ini adalah cara Cameron mengritik pendekatan militer yang ditempuh pemerintah Amerika dalam perang melawan terorisme pada tahun-tahun sebelumnya. Kritik itu kuat terasa karena Cameron juga menggunakan istilah preemptive war yang kerap digunakan oleh pejabat Washington sebelum menaklukkan Afghanistan dan Irak pascaserangan September 2001. 

Sementara itu, pesan peduli lingkungan sangat kental terasa dalam adegan Neyriti mengajarkan kepada Jake bagaimana caranya bersatu dan memahami alam. Dalam film itu, juga digambarkan bangsa Na’vi berkomunikasi dengan binatang atau tumbuhan di lingkungannya melalui jaringan saraf sinaptis. Jaringan ini berfungsi seperti porta penghubung yang memungkinkan keduanya bertukar informasi dan perasaan secara langsung. Ini lebih menguatkan pesan ekologis Cameron agar manusia dapat bersatu dengan alam. Dalam sebuah wawancara dengan The Sun, Cameron memang mengakui bahwa dirinya adalah seorang aktivis environmentalis. Jadi, wajar saja apabila pesan peduli terhadap lingkungan terasa kuat menjiwai filmnya kali ini. Pesan ini juga dapat dianggap sebagai kritik Cameron terhadap industrialisasi negara-negara maju. Kemajuan industrialisme dianggap sering harus berhadapan dengan upaya pelestarian dan penyelamatan lingkungan. Pesan ini terlihat kuat dalam adegan Neyriti dan Jake ketika terpaksa berhadapan dengan rombongan buldozer yang hendak meratakan hutan suci milik para Na’vi. 

Kedua tokoh antagonis dalam film ini, Parker Selfridge (Giovanni Ribisi), administrator proyek RDA di Pandora, dan Kolonel Miles Quaritch (Stephen Lang), pemimpin kekuatan militer di Pandora, mewakili wajah industrialisme dan militerisme yang dalam film ini menjadi target pesan pelestarian lingkungan dan antiperang. Paham industrialisme dan militerisme menjadi dua unsur yang membangun konflik dalam film ini. Keduanya menjadi kekuatan, namun juga sekaligus kelemahan film Avatar. Kuat karena kedua isu besar ini tampil menjadi kandungan yang membuat film Avatar lebih menarik daripada sekadar pameran kecanggihan teknologi efek visual dan komputer grafis. Namun, juga lemah karena kedua paham tersebut, paling tidak yang terwakili oleh tokoh Parker dan Quaritch, tidak dieksplorasi secara lebih lanjut kecuali ditonjolkan sisi negatifnya belaka. 

Alur cerita dalam film ini kadang-kadang juga terlalu memudahkan permasalahan. Proses adaptasi Jake terhadap jasad barunya berlangsung cepat dan tidak tergali dengan baik. Seolah-olah Jake yang mengalami kelumpuhan pada tungkai bawahnya dapat dengan begitu mudah beralih menjadi sosok avatar Na’vi yang memiliki semua anggota tubuh berfungsi baik. Film ini—juga seperti film Cameron lainnya tentang makhluk asing atau alien—menampilkan sosok marinir masa depan sebagai tokohnya dengan persenjataan yang nyaris semua terkomputerisasi, namun tetap menggunakan konsep senjata mesin konvensional yang bersandar pada peluru tajam. 

Film ini juga tidak lepas dari isu rasial karena Na’vi digambarkan berbusana, bersenjata dan berperilaku seperti suku tradisional yang ada di belahan dunia yang belum tersentuh modernitas. Kemiripan itu juga terlihat dalam struktur masyarakat dan sistem religinya, yakni adanya pemimpin klan dan dukun sebagai dua poros kepemimpinan tradisional. Akibatnya, perambahan Pandora oleh perusahaan RDA pun oleh sebagian pengamat film dipandang merepresentasikan penaklukan penduduk pribumi Amerika oleh kaum pendatang Eropa. 

Namun, lepas dari kelemahan-kelemahan tersebut, film Avatar memang tidak hanya menyuguhkan sebuah visualisasi yang luar biasa, namun juga isi yang cukup menarik sebagai bahan diskusi baik secara santai maupun ilmiah. Film Avatar juga dapat dianggap sebuah ensiklopedia yang menampilkan kompilasi pelbagai konsep ke dalam sebuah film. Misalnya, ada krisis identitas pada diri Jake Sully yang datang dari ranah psikoanalisis. Dengan jasad barunya, dia memperoleh sesuatu yang kini tidak dimilikinya: kedua pasang kaki yang sehat. Dengan identitas avatarnya, Jake menjumpai pengalaman baru yang selama ini belum pernah dialaminya. Nilai-nilai yang selama ini dianutnya pun mengalami kegoncangan. Berkat identitas barunya pula, Jake mendapatkan status yang lebih baik daripada yang ada pada kehidupan fisik nyatanya. Dengan meminjam konsep avatar dari kultur komputer dan internet, Cameron tampak seperti ingin menyampaikan kepada banyak pihak agar selalu mempertimbangkan pihak lain dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda.

Selain itu, jika dicermati, film ini juga menggabungkan konsep dari sistem religi yang berbeda. Konsep avatar sendiri sebenarnya diadopsi dari avatara dalam Hinduisme yang menggambarkan pengejawantahan dewa dalam pelbagai wujud. Avatar Jake yang akhirnya dapat menaklukkan hewan terbang Toruk Makto dan menjadikannya sebagai tunggangannya dengan cepat mengingatkan kita kepada Wisnu dan garudanya dalam kultur Hindu. Sementara itu, penyerangan armada militer RDA oleh kawanan burung mengingatkan kisah burung ababil yang diabadikan dalam sebuah surah Alquran. 

Singkat kata, film ini tidak hanya menarik bagi mereka yang ingin mendapatkan hiburan yang layak di awal tahun, namun juga bagi mereka yang ingin memperoleh suguhan film yang kaya akan isu-isu baik dari ranah teknologi komputer grafis, sosiologi, anthropologi, linguistik, religi, psikologi, maupun biologi. Seperti kata Cameron, dalam promosinya di Tokyo akhir tahun lalu, Avatar memang cocok untuk segala tipe penonton dari usia 13 hingga 80 tahun. Jika ingin menyaksikan dengan puas, cobalah nikmati Avatar dalam format 3D. Nah, tunggu apalagi? Segeralah ke bioskop terdekat. (Totok Suhardijanto)
KompasianaDotCom

0 comments:

Post a Comment

matur tengkyu udah mampir ke tempat kami. silahkan beri komentar untuk tulisan ini... (mbah google seneng loh sama yang suka komen :)

Your Ads

check dan perpendek domain yang kamu inginkan disini: